Satu Tahun Green Radioline, Bersuara untuk Lingkungan Rabu, 11/08/2021 | 21:44
Mirna Safitri
BNEWS - Satu tahun sudah green radioline terus bersuara, sejak terlahir karena adanya wabah pandemi Covid-19. Hadir dengan tanggung jawab moral mengabarkan tentang lingkungan, Green Radiolive bertekad tidak akan pernah berhenti, apapun keadaannya. Waktu satu tahun makin memperkuat tekad bahwa semesta ini harus dijaga, untuk kebersinambungan kehidupan manusia.
"Darurat, genting, adalah bagian dari perjalanan yang luar biasa. Rasa syukur hingga hari ini satu tahun telah terlewati. Kami ada dan akan terus ada, mengabarkan apa saja. Tapi garis kami jelas, bersuara untuk alam, untuk lingkungan," kata Sari Indriati, GM Green Radioline.
Tak heran, Hartono, Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove mengucapkan selamat kepada Green Radioline yang telah sukses bertransformasi menjadi media baru. Hartono pun berharap, Green Radioline menjadi media yang handal dan terpercaya ikut serta bersama-sama mendorong masyarakat dan seluruh stakeholder, untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta melakukan perlindungan dan konservasi ekosistem alam.
Menurut Sari, posisi Riau menjadi penting karena banyaknya lahan gambut yang selama belasan tahun tahun menyumbang karhutla dan mengekspor kabut asap berkepanjangan ke negara tetangga. Tak heran jika Riau menjadi target penting, bagaimana keadaan tersebut tidak terus berulang. salah satunya dengan pengelolaan ekosistem gambut. Dan Green Radioline secara konsisten mengawal hal tersebut.
Menyambut satu tahun usianya, Green Radioline mengadakan seminar secara virtual (Webinar), menghadirkan beberapa nara sumber, tentu sejalan dengan nafas Green Radioline, sejauh mana pihak-pihak yang dipercaya memperbaiki tata kelola gambut untuk lingkungan yang terjaga, telah melakukannya tugasnya.
"Webinar ini menjadi penting, karena sejalan dengan apa yang selalu diperjuangan oleh Green Radioline," ujar Sari.
Dalam webinar ini, Mirna Safitri, Deputi Edukasi Sosialisasi Partisipasi dan Kemitraan BRG menyatakan, bersama pemerintah daerah, LSM Peduli Lingkungan dan pihak lain yang peduli, BRG bekerja bahu-membahu untuk mengatasi lajunya kerusakan ekosistem gambut yang ada di Riau, denganmelakukan tindakan-tindakan pemulihan melalui restorasi gambut.
Menurut Mirna, pembangunan infrastruktur pembasahan gambut dilakukan bekerja bersama dengan kelompok-kelompok tani dan masyarakat dan merupakan modal yang sangat penting untuk memperbaiki tata kelola gambut sehingga tidak lagi rentan terbakar.
Hanya saja kata Mirna, berbicara tentang restorsi gambut dan perlindungan lingkungan, juga tidak bisa diisolasi dari persoalan ekonomi masyarakat. Karena itu BRG sudah melakukan hal tersebut melalui kegiatan-kegiatan revitalisasi ekonomi dan penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat yang ada di desa.
Tetapi kata Mirna, belum semua pihak menyadari bahwa restorasi gambut itu memerlukan kesabaran, bahwa yang namanya merestrorasi itu tidak bisa instan, tidak bisa hari bangun sekat kanal maka maka kemudian gambutnya langsung pulih, itu Impossible. Proses memulihkan lingkungan itu adalah proses yang panjang.
"Pemerintah Provinsi dan pemerintah daerah yang ada di Riau harus memikirkan upaya-upaya merestorasi gambut ini dalam jangka panjang. Tidak boleh berhenti, jika kita inginkan kondisi lingkungan baik-baik saja dan karhutla tidak selalu berulang," ujar Mirna.
Mirna juga menyatakan bahwa pihaknya sangat mendukung apa yang sudah dilakukan pemerintah Provinsi Riau, yang menyiapkan instrumen-instrumen kebijakan dan perencanaan pembangunan yang didalamnya memasukkan pentingnya perlindungan terhadap ekosistem gambut, dimulai dari kebijakan hijau.
Menyambut apa yang dikatakan Mirna, Mamun Murod, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau dalam kesempatan ini menyatakan bahwa Riau telah dan akan terus mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan dikenal dengan nama Riau Hijau.
Riau hijau ini masuk dalam program prioritas daerah yang tertuang dalam RPJM, yang menyebutkan tujuan pembangunan antara lain, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan iklim serta melakukan pembangunan rendah karbon.
"Ini sangat berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat. Kita juga selalu mensinergikan pelaksanaan di daerah terutama soal rencana perlindungan ekosistem gambut yang kemudian pada saat ini kita garap yang namanya RPPEG. Artinya betul bahwa daerah harus sejalan dengan kebijakan pusat dalam rangka empercepat restorasi gambut dan juga melakukan pemulihan terhadap ekosistem mangrove," kata Murod.
Menurut Murod, terkait dengan upaya yang sedang dilakukan dinasnya, juga harus sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Seperti tugas pembantuan yang diberikan oleh BRG tetap mengacu kepada norma-norma yang sudah dituangkan di dalam tugas ini, khususnya dalam melakukan tiga hal, rewetting ( adalah pembasahan kembali dengan pembangunan sekat kanal, pembangunan sumur bor), revegetasi (usaha untuk memperbaiki dan memulihkan vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada lahan bekas penggunaan kawasan hutan) dan revitalisasi ekonomi masyarakat.
"Ketiga hal ini selalu kita lakukan dalam rangka menjaga restorasi gambut dan untuk memulihkan ekosistem mangrove yang ada di Provinsi Riau. Ini juga sejalan dengan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah," kata Murod.
Murod juga mengatakan, dalam pelaksanaannya sudah menjaring isu strategis yaitu keberlangsungan persediaan pangan, keberlangsungan jasa pengatur air, deforestasi untuk penggunaan lahan, degradasi ekosistem gambut, ancaman kebakaran hutan dan lahan kemudian abrasi pantai serta penurunan keanekaragaman hayati.
"Bahkan Riau baru saja melaunching program Adopsi Pohon. Upaya ini dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan hidup, kaitannya dengan upaya mempertahankan tutupan hutan. Mudah-mudahan adopsi pohon ini menjadi salah satu solusi dalam mempertahankan tutupan hutan sehingga kualitas lingkungan hidup akan meningkat," ujar Murod.
Salah satu peserta Webinar, Tuti, Ketua Kelompok Tani Wanita di Bengkalis dalam kesempatan ini menyatakan, bertani di lahan tanpa membakar mungkin dulu itu terdengar tidak mungkin untuk dilakukan, karena dari zaman dahulu masyarakat desa belum bisa meninggalkan tradisi turun menurun tersebut.
"Petani mengumpulkan rumput dan ranting kering lalu dibakar dengan api kecil, tetapi apinya dijaga jangan sampai membulat sampai besar karena hanya dituju untuk membakar rumput dan ranting dan bertujuan untuk membersihkan lahan," kata Tuti.
Pembakaran ini juga merupakan teknik turun menurun dan dipercaya untuk menyuburkan lahan hingga membuat tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun sekarang teknik pemkaran ini sudah ditinggalkan petani, kafrena ternyata berisiko memicu terjadinya karhutla. Kini petani mengikuti cara yang telah diajarkan dalam sebuah pelatihan atas dukungan BRG.
"Dalam pelatihan ini diajarkan membuat pupuk biokompos dan cara membuat arang sekam padi yang dapat menyuburkan tanah dan tanaman tanpa harus membakar lahan. Selain itu pupuk tetap ramah lingkungan karena menggunakan bahan-bahan alami yang mudah didapatkan. Saya menggunakan media gambut yang ternyata membuat tanaman tumbuh subur," kata Tuti yang membudidayakan tanaman obat dalam kesehartiannya.
Sedangkan Safari, Pokmas Desa Belitung, Kota Dumai menyatakan, bahwa BRG telah memberikan program untuk masyrakat desa dengan melakukan pelatihan terlebih dahulu. Pada tahun 2017 katanya, dia dan petani desanya diberikan materi-materi, salah satunya pembasahan gambut dengan sumur bor. Gunanya untuk antisipasi karhutla saat musim panas.
"Kalau dulu itu di tempat kami itu setiap musim kemarau pasti akan ada kebakaran, tapi Alhamdulillah pada permulaan 2017 80 persen titik api langsung berkurang. Ini terbantu dengan adanya kanal. Dengan terbuktinya BRG membuat suatu program tersebut membuat masyrakat menruskannya dan menjaganya," kata Safari.
Safari juga menceritakan, dengan kegiatan ini banyak perubahannya. Dengan pembasahan gambut dan sekat kanal tersebut otomatis walaupun ada kebakaran tetapi di sekitar sekat kanal tidak terbaka. Kemudian, dulunya air laju langsung turun ke sungai atau ke laut, dengan adanya sekat-sekat kanal air terhambat lajunya, jadi pada musim kemarau tetap basah.
"Sementara kegunaan sumur bor, pada musim kemarau biasanya di kanal-kanal itu kering jadi kita menggunakan sumur-sumur bor itu untuk persediaan air apabila adanya kebakaran maka sumber airnya yang pertama dari sumur bor itu," kata Safari.**