Jikalahari Laporkan 5 Korporasi HTI atas Dugaan Karhutla di Riau ke Polda Senin, 04/08/2025 | 14:56
Jikalahari saat sampaikan laporan ke Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau, Senin (4/8/2025)
BNEWS — Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) melaporkan lima perusahaan hutan tanaman industri (HTI) di Riau atas dugaan tindak pidana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang Juli 2025. Laporan disampaikan langsung kepada Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau, Senin (4/8/2025) sebagai bentuk dukungan terhadap penegakan hukum lingkungan hidup.
Kelima korporasi yang dilaporkan yakni PT Arara Abadi (Distrik Rohil), PT Riau Andalan Pulp and Paper (Estate Pelalawan), PT Ruas Utama Jaya (Dumai), PT Perawang Sukses Perkasa Industri (Kampar Kiri), dan PT Selaras Abadi Utama (Pelalawan).
Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, menyatakan bahwa laporan tersebut merupakan bentuk partisipasi publik dan dorongan kepada Polda Riau untuk menindak tegas pelaku karhutla, terutama dari kalangan korporasi.
“Kami mengapresiasi Kapolda Riau yang membuka ruang partisipasi publik dalam penegakan hukum karhutla. Ini selaras dengan semangat green policing,” ujarnya.
Berdasarkan analisis hotspot, citra satelit, dan pengecekan lapangan pada 17–27 Juli 2025, Jikalahari menemukan total area terbakar seluas 179 hektare di dalam konsesi kelima perusahaan tersebut. Kebakaran ini menyebabkan pencemaran udara dengan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) di Riau mencapai level "Sangat Tidak Sehat".
Enam temuan utama dalam laporan Jikalahari meliputi lokasi karhutla berada dalam areal berizin perusahaan, dekat dengan tanaman akasia, ditemukan keberadaan kanal yang menunjukkan pengelolaan lahan oleh korporasi, terdapat tanaman akasia dan sawit berusia 3–5 tahun di sekitar area terbakar serta sebagian besar area terbakar merupakan lahan gambut dan area prioritas restorasi.
Jikalahari melanjutkan bahwa kebakaran turut menghanguskan tegakan hutan alam dan tidak adanya menara pemantau api menandakan kurangnya sarana pengendalian karhutla.
“Ketidaksiapan perusahaan dalam menjaga konsesinya, baik karena kelalaian maupun kesengajaan, telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang melampaui baku mutu,” kata Okto.
Ia menyebut bahwa kondisi ini berpotensi melanggar Pasal 98 dan 99 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan dapat dijerat pidana.
Jikalahari berharap laporan ini menjadi langkah awal untuk mendorong penegakan hukum yang adil dan tidak tebang pilih.
“Penegakan hukum dan sanksi tegas terhadap korporasi penting untuk memberikan rasa keadilan bagi warga yang menjadi korban asap,” tegas Okto.**