Perempuan Tak Berdaya, Laki-laki Dikriminalisasi: Bentang Kepahitan Akibat Konflik Masyarakat Melawan Korporasi HTI di Pulau Rupat Jumat, 27/06/2025 | 17:42
Rumah salah satu warga di Kelurahan Batu Panjang, Pulau Rupat, Bengkalis, saat luapan air akibat pembukaan kanal PT SRL. Kondisi air menggenang ini bisa bertahan hingga 2-3 bulan lamanya. (dok: warga/BNEWS)
Oleh: Rinai Bening Kasih
Berkabarnews.com, Rupat - Awal konflik tumpang tindih lahan antara masyarakat dengan PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dimulai sejak terbitnya izin IUPHHK-HTI PT SRL seluas 38.439,60 hektare pada tahun 2007 berdasarkan SK Kementerian Kehutanan nomor 208/Menhut-II/2007. Izin ini memberi hak kepada PT SRL, bagian dari APRIL Group, untuk mengelola kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Pulau Rupat, tepatnya Blok IV, Estate Rupat, Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis.
Selain di Pulau Rupat, wilayah konsesi PT SRL juga tersebar di Rokan Hilir (Blok III), Kepulauan Meranti (Blok V), dan Indragiri Hilir (Blok VI). Namun konflik agraria paling panjang dan kompleks terjadi di Kelurahan Batu Panjang, Pulau Rupat. Sejak perusahaan memulai operasinya, warga di berbagai kampung di Kelurahan Batu Panjang mengaku mengalami banyak kehilangan.
“Hidup kami teraniaya dimulai sejak pertama kali perusahaan itu menginjakkan kaki di sini,” ujar Farida, perempuan warga Kampung Proyek, yang selama ini menggantungkan hidup dari kebun dan lahan miliknya. Namun mata pencariannya tercerabut bersamaan dengan lahannya yang diklaim masuk ke wilayah konsesi.
Hutan dan lahan yang selama ini menjadi tempatnya mencari nafkah berubah jadi hamparan akasia, sementara yang tak ditanami akasia disebut tidak masuk wilayah konsesi namun masuk ke dalam wilayah hutan alam. Ia tak boleh menggarap tanah itu bahkan untuk sekedar menanam sayur-mayur untuk dimakan.
“Saya beli tanah itu melalui koperasi, sudah pernah saya garap sebelumnya sampai tiba-tiba perusahaan datang dan mengaku itu punya mereka. Seberapa luas tanah kami yang masuk konsesi dan seberapa luas sisanya, dan yang mana yang masuk hutan alam juga tidak pernah jelas,” tuturnya.
Sejak kehilangan lahannya, Farida kehilangan mata pencariannya pula. Masih menjadi sebuah memori pahit yang terpatri di benak Farida bagaimana ia terpaksa diam-diam mencari damar di dalam hutan untuk dijual dan memakan ubi busuk demi mengisi perut anak-anaknya.
“Saat hamil si bungsu, usia kandungan sembilan bulan saya terpaksa masuk hutan cari damar untuk biaya hidup, karena lahan kami (sebagai mata pencaharian) sudah tidak ada. Untuk makan, saya rebus ubi busuk di samping rumah. Busuk karena lama tergenang air banjir, yang juga terjadi akibat perusahaan membuka kanal,” ujarnya lirih.
Farida tak patah arang, agar anak-anaknya masih bisa makan nasi dan tetap sekolah ia kemudian mengajukan diri sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH). Faktanya, ia memang miskin. Hingga kini salah satu anaknya tak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas karena keterbatasan biaya. Suaminya juga kehilangan pekerjaan dan sumber penghidupan akibat lahan yang diklaim perusahaan.
Pasangan suami-istri itu terus berjuang memperjuangkan hak mereka, namun setelah melawan perusahaan, mereka merasa mendapat tekanan sosial dari berbagai pihak. Farida bahkan mengaku pengajuan PKH yang menjadi haknya diputus sepihak, sehingga bantuan tunai tak ia terima.
“Saya pernah dapat satu kali pencairan, sekitar Rp600.000, lalu setelah itu datang petugas. Saya tak berani bilang mereka dari mana. Yang jelas, petugas itu datang ke rumah lalu bertanya apa pekerjaan saya, pekerjaan suami dan siapa suami saya. Saya bilang saya dan suami tidak punya kerjaan tetap, hanya mengurus kebun di halaman rumah, kalau suami juga nyambi jadi buruh kasar dan wartawan itupun tanpa gaji bulanan. Setelah itu, dia (petugas) bilang kami tidak berhak dapat PKH tanpa menjelaskan apa alasannya,” ungkap Farida.
Farida menunjuk tumbuhan yang ia tanam di samping rumahnya. Ada ubi, pisang, pohon-pohon berbuah dan tanaman lain yang menjadi sumber pangan utama keluarganya. Farida dan suaminya kesulitan mencari nafkah setelah kebun mereka seluas 2 hektare diklaim masuk wilayah konsesi PT SRL (dok:Rinai/BNEWS)
Indikasi Teror dan Trauma
Tak hanya kehilangan lahan dan kesempatan untuk mendapat bantuan, Farida mengaku juga mendapat intimidasi. Ia bercerita pada kisaran tahun 2023, segerombolan orang mendatangi rumahnya. “Ada sekitar 10-12 orang, mereka naik mobil bak terbuka, datang dari arah hutan di sana, bukan dari jalan setapak yang biasa digunakan warga,” tutur Farida sambil menunjuk ke arah hutan.
Farida menuturkan, sebagian orang-orang yang mendatangi rumahnya itu tetap berada di kendaraan, sebagian lainnya mengitari rumah dan halamannya, dua lainnya mengambil gambar dengan HP.
“Saya bilang, ini ada apa, kenapa foto-foto rumah saya? Salah satu dari mereka bilang untuk keperluan survei. Saya tanya lagi, survei apa? Dari mana kalian? Mereka tidak menjawab, lalu pergi begitu saja. Setelah mereka pergi saya langsung kunci pintu dan sembunyi di pojokan kamar, anak-anak saya ketakutan,” kenang Farida.
Di tahun-tahun berikutnya, rasa terintimidasi dan teror menghantui satu per satu warga yang mempertahankan lahan mereka. Sri, seorang warga Kampung Sidomulyo mengaku turut mengalami tekanan itu. Sri merupakan petani yang selama ini menggantungkan hidup dari lahan seluas dua hektare yang diberikan oleh mertuanya. Tanah itu dibeli pada tahun 2004 dan ditanami kelapa sawit, sebagian lagi ditanami cabai, semangka, terong dan pinang. Saat itu, Sri dan suaminya bekerja di luar kota hingga mertuanya menelepon dan meminta mereka untuk pulang ke Pulau Rupat.
“Ibuk bilang, sawit sudah berbuah, kami tinggal panen. Sedangkan sisa tanahnya masih bisa ditanami cabai, terong, semangka. Makanya kami pulang,” tutur Sri.
Sri tak menyangka, impian mereka untuk meneruskan kebun hasil jerih payah mertuanya yang sekian tahun bercocok tanam itu pupus begitu saja. Ia dan suami bahkan dituduh oleh PT SRL sebagai pelaku pembakaran lahan. Ia menuturkan, pada tahun 2016 ia dan suami pergi berkebun seperti biasa. Pada hari itu mereka memutuskan untuk membersihkan gulma dan semak-semak pakis yang mulai rimbun. Sri mengakui sebelumnya pihak perusahaan telah mendatangi mereka dan memberitahu bahwa lahan milik mereka masuk ke dalam wilayah konsesi, sehingga mereka dilarang berkegiatan di dalamnya. Namun Sri yang merasa memiliki hak dan bukti kepemilikan lahan itu tetap berkebun seperti biasa.
“Saya dengar suara mesin speed (perahu motor). Saya bilang ke abang (suami), bang itu kayaknya ada speed. Abang bilang iya, ada, dari di kanal tapi masih jauh, jadi kami lanjut beberes. Tiba-tiba ada suara orang teriak, kami lihat speed sudah parkir di bibir kanal, ada beberapa orang naik dan dekatin kami. Mereka bilang ‘kalian ngapain bakar-bakar di sini?’” Mendengar itu, sontak Sri dan suaminya terkejut. Sebab, pengakuan mereka, saat itu mereka hanya membawa sabit dan parang. Gulma dan rerumputan yang sudah diterabas kemudian mereka tumpuk, namun tidak dibakar. Mereka bersumpah tak membawa korek api atau pemantik apapun.
“Kami memang petani, tapi kami nggak bodoh. Musim kemarau, panas bedengkang kayak gitu, namanya cari mati kalau bikin api. Yang habis ‘kan tanaman kami juga, yang rugi kami juga. Bibit, pupuk, nyewa beko (alat berat), semua pakai modal. Memangnya kami gila mau bakar kebun sendiri, yang masih ada tanamannya?” pungkas Sri yang tampak masih geram mengingat kejadian itu.
Menghindari keributan, akhirnya Sri dan suami meninggalkan lokasi saat itu juga, yaitu pukul lima sore. Alangkah terkejutnya mereka saat pagi hari, sekitar pukul enam pagi, tampak asap membumbung dari arah kebun mereka. Saat didatangi, benarlah ada yang terbakar meski tak luas. Jejak api yang membakar tampak dimulai beberapa meter dari pinggir kanal, merayap naik. Tak jauh dari sana, sudah berdiri petugas keamanan dari PT SRL.
“Mereka marah, mereka bilang ‘kalian, sudah dibilang jangan membakar! Ini akan kami laporkan ke polisi’. Masalahnya, yang terbakar itu di seberang kanal, bukan di tempat kami kemaren menyabit,” tutur Sri.
Tak terima dituduh, suami Sri sempat berdebat dengan pihak PT SRL. Mengkhawatirkan keselamatan suaminya, Sri langsung mengirim sms ke Zaini dari Kampung Proyek dan Solikhin dari Kampung Jawa yang sejak tahun 2011 memang dikenal sebagai aktivis yang vokal melawan PT SRL dan memperjuangkan hak masyarakat Batu Panjang. Tak berapa lama, Zaini datang bersama Solikhin dan warga kampung lainnya. Situasi sempat memanas, adu mulut dan saling tunjuk tak terelakkan, beberapa pemuda bahkan mengaku siap mati atau siap mematikan saat itu karena sudah terlalu jengah dengan kelumit berlarut-larut.
“Saya trauma. Setelah kejadian itu, saya dan suami sempat coba bersih-bersih lagi di kebun, tapi sore ditinggal, paginya terbakar lagi. Bukan hanya di lahan kami, tapi juga di lahan warga lain. Tiap selesai kami garap, terbakar lagi. Kami tidak pernah tahu siapa yang bakar, tidak ada yang pernah mergoki. Kami semua ketakutan. Akhirnya, ya, kami biarkan aja lahan itu sama isi-isinya,” papar Sri.
Temuan Jikalahari memperkuat kesaksian warga. Mereka mencatat adanya lahan bekas terbakar. Temuan terbaru, sekitar Juni tahun 2023 seluas + 40 hektare pada areal prioritas restorasi juga ditemukan bekas terbakar. Tak hanya persoalan kebakaran, masyarakat juga dihadapkan dengan banjir akibat luapan air kanal.
Menurut laporan Jikalahari dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau, PT SRL membuka kanal-kanal selebar 5–7 meter sepanjang 11,8 kilometer di area sekitar. Temuan mereka mencatat kanal-kanal ini dibuat di kawasan lindung, berdampak langsung pada naik turunnya muka air gambut. Saat kemarau, gambut mengering dan sangat mudah terbakar. Ketika hujan datang, air meluap di kanal dan membanjiri kebun warga. Bahkan walau cuaca tidak hujan, ada kalanya perusahaan membuka pintu kanal sehingga air tetap menggenangi pemukiman dan lahan-lahan milik masyarakat.
“Begitu hujan, air dari kanal perusahaan meluap, jadi mereka buka tapi dampaknya air itu malah lari ke kebun dan rumah kami,” ujar Sri.
Sri bercerita beberapa tahun lalu ia dan keluarganya harus menahan pil pahit karena air luapan kanal itu menghanyutkan tanaman palawija milik mereka, semangka mengambang, dan cabai yang gemuk-gemuk dan siap panen membusuk. Tingginya permukaan air turut memaksa Sri dan keluarganya untuk mengungsi ke Mess Koramil dua bulan lamanya. Trauma itu bertahan hingga kini.
Temuan Jikalahari menyebut, pengaturan air di kanal HTI yang sembrono menyebabkan perubahan ekstrem pada ekosistem gambut dan berdampak langsung pada keselamatan warga.
Sri dan suaminya di kebun yang mereka sewa untuk bercocok tanam. Keduanya mengalami trauma karena pernah dituduh membakar hutan dan turut menjadi korban tiap luapan air kanal PT SRL merendam Kampung Sidomulyo, Kelurahan Batu Panjang, Pulau Rupat, Bengkalis (dok:Rinai/BNEWS)
Perempuan Tak Berdaya, Laki-laki Dikriminalisasi
Perempuan seperti Farida dan Sri menanggung beban berlapis: penghidupan, anak-anak, dan ancaman fisik. Farida mencari damar di hutan sambil menahan resiko hamil sembilan bulan, anak-anaknya terancam kurang gizi karena sehari-hari lebih sering memakan ubi rebus dan pisang bakar seadanya. Sri mengungsi berbulan-bulan ke pos militer dengan anak-anak kecil karena rumahnya direndam banjir setinggi satu meter.
Di sisi lain, laki-laki yang memperjuangkan hak malah dikriminalisasi. Salah satunya Zaini, suami Farida, yang sejak awal menolak perusahaan masuk, mengalami berbagai bentuk represi. Tak hanya kebun, rumah kayu yang susah payah dibangunnya dibakar orang tak dikenal. Foto dan video dokumentasi kerusakan lingkungan miliknya lenyap secara misterius dari teleponnya, termasuk yang sudah diunggah ke berbagai media sosial, semua lenyap tak berbekas. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru bahkan menyatakan bahwa bentuk-bentuk tekanan ini mengarah pada pelanggaran hak asasi, intimidasi, dan persekusi terhadap pembela lingkungan.
Rekan Zaini, Solikhin, terhitung sudah enam kali dipanggil oleh aparat kepolisian karena ada laporan. Terakhir di tahun 2023, Solikhin yang berprofesi sebagai guru di SMKN 1 Rupat didatangi dua petugas kepolisian saat sedang mengajar di kelas. Di hadapan murid-muridnya, Solikhin diminta ikut ke kantor polisi karena disebut telah merusak lahan milik PT SRL. Solikhin yang mengaku sudah terbiasa hanya tersenyum getir.
“Lahan itu punya saya. Saya tanami karet dan sayuran. Waktu saya sedang membersihkan gulma, saya dibilang merusak dan dituduh membakar. Karet-karet yang saya tanam itu tidak pernah dipanen dan jadinya sudah terlalu tua akibat lama dibiarkan karena konflik ini. Ada pun yang bagus, saat kanal dibuka, pohon terendam air dan getah tidak terbentuk. Lalu, bagaimana bisa saya yang digiring ke kantor polisi?” tuturnya getir.
Konflik berkepanjangan ini menimbulkan ketegangan antar warga dan memperburuk kondisi sosial. Tak hanya Zaini dan Solikhin, saat masyarakat lainnya mengadukan persoalan, mereka turut dihadapkan pada aparat. Beberapa warga bahkan pernah ditangkap saat menghentikan kegiatan operasional perusahaan. Aksi warga itupun masih berlandaskan alasan yang sama, yaitu meminta kejelasan atas kepemilikan lahan yang dirasa telah mereka miliki secara sah. Sementara, perusahaan tetap beroperasi. Penanaman akasia terus dilakukan, bahkan pada malam hari seperti yang dilaporkan banyak warga Kelurahan Batu Panjang.
Tanggapan dari Pihak Perusahaan
Sementara itu, pihak PT SRL melalui Manajer Humas Abdul Hadi, saat dikonfirmasi menyampaikan bahwa perusahaan telah melakukan penetapan tata batas konsesi sebagaimana tertuang dalam SK. 675/Menlhk/Setjen/PLA.2/9/2021 tentang Penetapan Areal Kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Industri (sekarang disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan). Berdasarkan SK tersebut, luas konsesi PT SRL di Blok IV Kecamatan Rupat mencapai 39.002,62 hektar.
SK ini, menurut Abdul Hadi, menjadi bentuk penegasan batas antara lahan konsesi perusahaan dengan lahan masyarakat, sehingga aktifitas pekerjaan yang dilakukan perusahaan tidak melebihi batas konsesi, apalagi mencaplok lahan milik masyarakat. Abdul Hadi juga menyebut bahwa pertemuan antara masyarakat dengan PT SRL telah dilakukan di Aula Kantor Kecamatan Rupat, Kelurahan Batu Panjang, pada Jumat (8/9/2023). Pertemuan tersebut dihadiri oleh Camat Rupat, Danramil 04/Rupat, Kapolsek Rupat, DLHK Provinsi Riau, Lurah dan Kepala Desa, perwakilan masyarakat, serta perwakilan perusahaan.
“Pertemuan tersebut digelar guna mendengarkan penjelasan terkait kegiatan operasional perusahaan di Kelurahan Batu Panjang berdasarkan izin perusahaan yang dikeluarkan kementerian kehutanan,” kata Abdul Hadi.
Ia juga menjelaskan bahwa lahan konsesi yang diberikan izin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dibagi sesuai dengan tata ruang HTI, baik areal tanaman pokok maupun kawasan lindung atau konservasi.
Terkait dengan isu kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Abdul Hadi menyatakan bahwa memang pernah terjadi kebakaran namun tidak di dalam wilayah konsensi. Menurutnya, kebakaran justru terjadi di Jalan Mekarsari, Desa Terkul, berada di luar konsesi PT SRL Rupat, dengan jarak sekitar 255 meter dari batas konsesi perusahaan pada bulan Juni 2023 lalu.
Meski demikian, PT SRL, menurutnya, tetap membantu proses pemadaman dengan mengerahkan 18 personil pemadam kebakaran, tiga unit mesin mini striker, satu unit March3, dan satu unit drone. Pemadaman dilakukan selama 35 jam hingga api dinyatakan padam. Ia juga membantah keras terjadi usaha-usaha intimidasi atau persoalan lain dalam berbagai bentuk dengan masyarakat.
“Setahu saya sudah tidak ada masalah dengan masyarakat di Pulau Rupat, semua sudah clear!” tegasnya.
Harus Ada yang Bertanggungjawab
Jikalahari menegaskan bahwa PT SRL sebagai bagian dari APRIL Group merupakan salah satu aktor utama dalam kerusakan ekosistem Pulau Rupat. Dalam 10 tahun terakhir, APRIL Group menghilangkan lebih dari 64.000 hektare tutupan hutan alam di Riau. Sementara di Pulau Rupat, PT SRL menciptakan luka ekologis melalui pembakaran, pembangunan kanal, dan konflik sosial. Namun hingga kini, tidak ada sanksi hukum tegas dari pemerintah. Jikalahari dan Walhi Riau sudah bertahun-tahun menyuarakan tuntutan pencabutan izin PT SRL dan seluruh perusahaan HTI lainnya di Pulau Rupat.
Okto Yugo Setyo, Koordinator Jikalahari mendorong pemerintah kaji ulang izin SRL. Alasannya, areal itu merupakan lahan gambut dalam dan tidak seharusnya dipaksa dengan tanaman monokultur seperti akasia. Sedang kebun masyarakat, katanya, dengan tanaman beragam, dari pinang, karet, jagung meskipun ada sawit. Dia mengingatkan, ada aturan main dalam penyelesaian konflik izin perusahaan dengan lahan masyarakat. Pemerintah pun telah menyiapkan kebijakan sebagai solusi, seperti aturan perhutanan sosial maupun percepatan tanah obyek reforma agraria (Tora).
“Walaupun itu dalam izin, perusahaan tidak dibenarkan ambil lahan yang sudah dikelola masyarakat. Tidak serta merta masyarakat harus pergi dari sana. Apalagi tanpa pemberitahuan, sosialisasi dan proses pendekatan,” kata Okto.
Sementara itu Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat Walhi Riau, Eko Yunanda, menyebut praktik buruk pengelolaan hutan dan gambut yang dilakukan PT SRL selama ini sudah cukup menjadi alasan kuat bagi Kementerian Kehutanan melakukan tinjauan ulang atas izin PT SRL dan perusahaan perkebunan kayu lainnya di Provinsi Riau.
“Sebagai sumber kerusakan lingkungan dan memicu konflik lahan sudah sepatutnya luasan perusahaan ini diciutkan atau bahkan dicabut perizinannya. Terutama PT SRL yang banyak menimbulkan persoalan di empat kabupaten Riau yaitu Bengkalis, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir dan Rokan Hilir. Selanjutnya, lokasi tersebut dipulihkan dan wilayah kelola masyarakat yang sebelumnya dirampas perusahaan harus dikembalikan,” tegasnya saat diwawancarai, Kamis (26/6/2025). Meskipun perusahaan membantah kebakaran terjadi di wilayah konsesinya, Eko menekankan bahwa perusahaan tetap bertanggung jawab.
“Bagaimanapun juga perusahaan tetap memiliki tanggung jawab untuk mencegah dan mengatasi kebakaran, serta bertanggung jawab atas dampak kebakaran yang terjadi di wilayah mereka dan sekitarnya,” pungkasnya.
Selain itu, lanjut Eko, hasil pantauan Walhi Riau menemukan bahwa konsesi PT SRL memang berulang kali terbakar khususnya Blok IV Pulau Rupat dan Blok V Pulau Rangsang.
“Perusahaan ini menambah kerentanan Pulau Rupat dan Rangsang karena tidak sesuai dengan peruntukan ruang pulau-pulau kecil, pembukaan hutan untuk pembangunan kanal di kawasan ekosistem gambut fungsi lindung (Blok V Rangsang), membangun kanal yang terhubung langsung dengan parit yang buangan airnya langsung menuju ke laut dan tidak menjalankan kewajiban restorasi gambut,” paparnya.
Eko menuturkan, tumpang tindih izin perusahaan dengan wilayah kelola masyarakat menjadi sejarah panjang konflik yang belum diselesaikan di areal kerja PT SRL. Selama ini masyarakat Pulau Rupatnya, khususnya masyarakat Kelurahan Batu Panjang, terus memperjuangkan hak atas tanah mereka dan menyuarakan penolakan atas keberadaan PT SRL.
Kisah Farida, Sri, Zaini, dan Solikhin hanyalah secuil dari luka besar yang ditanggung masyarakat Pulau Rupat akibat konflik yang tak kunjung selesai. Di tengah klaim legalitas dan batas konsesi yang dipegang perusahaan, warga terus kehilangan ruang hidup, dihantui kecemasan, dan terbungkam melalui berbagai cara.
PT SRL memang menyatakan bahwa seluruh operasional perusahaan telah sesuai izin dan batas wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah, bahkan membantu pemadaman karhutla yang diklaim terjadi di luar konsesi. Namun bagi warga, batas konsesi yang dimaksud tidak pernah benar-benar terlihat, dan dampak aktivitas perusahaan tetap mereka rasakan, dari kanal yang menenggelamkan kebun, hingga api yang tiba-tiba muncul dan kembali masyarakat yang tertuduh.
Negara, yang seharusnya hadir sebagai penengah dan pelindung hak, justru sering absen atau hanya mendengar dari balik meja pertemuan. Sebagaimana tuntutan Jikalahari, pemerintah pusat dan daerah harus mengevaluasi kembali SK 208/Menhut-II/2007 dan jika perlu, mencabut izin PT SRL. Desakan ini bukan sekadar soal konflik tanah, tapi juga menyangkut keadilan ekologis, keberlangsungan kehidupan, dan hak masyarakat adat serta lokal. Jika tidak, luka Rupat akan terus bernanah.**