Ada Diskriminasi Terhadap Korban KPPA Kawal Kasasi Atas Vonis Bebas Kasus Pelecehan Seksual Dosen Unri Minggu, 17/04/2022 | 14:17
Mahasiswa-mahasiswi Unri bertangisan sesaat Hakim memberikan vonis bebas terhadap Syafri Harto
BNEWS - Memori kasasi menolak putusan bebas kepada Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri) yang diduga melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswi berinisial L (21) telah selesai disusun oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) gabungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru.
Kasasi ini dilakukan karena majelis hakim PN Pekanbaru memberi vonis bebas kepada Syafri Harto dalam sidang yang digelar hari Rabu, 30 Maret 2022. Hakim menilai unsur dakwaan baik primair maupun subsidair yang didakwakan kepada Syafri Harto tidak terpenuhi.
Menyikapi hal ini, Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Margareth Robin Korwa menyatakan bahwa KemenPPA akan mengawal penyusunan permohonan Kasasi atas putusan bebas terdakwa kasus pelecehan seksual di Universitas Riau (Unri).
"Hal ini dilakukan sebagai upaya memberikan keadilan dan pemenuhan hak kepada korban," kata Margareth.
Menurut Margareth, ketimpangan di Indonesia masih terjadi, khususnya terkait isu perempuan dan anak. Salah satunya adalah kasus kekerasan seksual yang masih subur di lingkungan perguruan tinggi.
"Kekerasan di perguruan tinggi kerap terjadi dan tidak tertangani dengan semestinya," kata Margareth dalam keterangan pers, Minggu (17/4/2022).
Margareth menegaskan dalam konteks kasus pelecehan seksual di Unri, hakim melakukan diskriminasi terhadap saksi korban kekerasan seksual. Padahal sudah sepatutnya saksi korban diberikan perlindungan sebagaimana mestinya.
"Relasi hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak setara juga patut dipertimbangkan oleh hakim dalam memutus perkara," ujar Margareth.
Margareth melanjutkan, dalam memutuskan perkara hakim dinilai masih “gagap gender”. Hal ini menjadi faktor yang harus diperhatikan dalam menangani kasus kekerasan seksual ke depannya.
"Ini masih menjadi perjalanan panjang bagi kita untuk mendorong agar hakim-hakim dalam memutus perkara itu memakai perspektif yang jernih terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan. Banyak hakim yang masih kurang memahami atau mengenali perspektif gender, mereka memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang, namun tidak menggunakan rasa keadilan sebagai landasan filosofis di dalam memutuskan perkara," ucap Margareth.
Margareth juga mengutarakan terkait dengan kekurangan alat bukti saksi dalam kasus UNRI. Ia menyarankan majelis hakim menggunakan tafsir dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa saksi tidak harus melihat, mendengar dan mengalami tindak pidana.
"Sebab dalam kasus pencabulan dan persetubuhan hampir mustahil ada saksi yang melihat dan mendengar peristiwa pidana kecuali saksi korban," ungkap Margareth.
Sementara itu saksi ahli, Ahmad Sofian, menyayangkan tafsir klasik yang digunakan oleh Pengadilan Negeri Riau dalam memberikan putusan. Hal tersebut dikarenakan tafsir klasik terbatas pada ancaman kekerasan fisik saja. Ia mengingatkan hakim menggunakan tafsir hukum progresif yang lebih melihat perkembangan terbaru doktrin hukum pidana.
"Dalam tafsir hukum progresif, tafsir atas unsur tertentu didasarkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan juga perkembangan teori-teori, sehingga mampu menafsirkan ancaman kekerasan termasuk didalamnya ancaman kekerasan fisik dan relasi kuasa," ungkap Ahmad.
Datangi Nadiem Makarim
Sebelumnya, L (21), korban pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Riau (Unri) juga telah menemui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud) Republik Indonesia, Nadiem Makarim di Jakarta, Kamis (14/4/2022).
L didampingi oleh Mayor dan Wakil Mayor Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) FISIP Unri, Khelvin Hardiansyah dan Voppy Rosea Bulki, menuntut keadilan pasca Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru memberi vonis bebas kepada terdakwa Syafri Harto.
"Kedatangan Komahi dan penyintas (korban) ke Jakarta merupakan langkah kepasrahan atas kondisi ketidakadilan yang terjadi di Universitas Riau, sehingga kami pergi untuk menjemput keadilan serta janji dari Pak Nadiem," kata Khelvin.
Usai pertemuan, Nadiem Makarim berjanji memastikan pendidikan korban tidak akan terganggu dan menciptakan lingkungan aman bagi seluruh mahasiswa khususnya di Universitas Riau.
Kemendikbudristek juga akan sungguh-sungguh menangani kasus ini dan Kemendikbudristek dan semua jajaran didalamnya akan berada dibelakang penyintas dan rekan mahasiswa, dalam artian mendukung segala bentuk tindakan yang menolak kekerasan seksual di lingkungan kampus.**/zie