Mafia, Ekonomi Terpuruk atau Pintu Jatuh Pemerintah? Senin, 28/03/2022 | 23:59
Oleh: Luzi Diamanda
CUACA ekstrem belakangan ini menyebabkan panas menyengat di beberapaa belahan negeri Indonesia. Masyarakat kepanasan, terutama masyarakat kelas bawah yang tidak bisa membeli AC untuk rumah mereka. Tetapi sebetulnya ada yang lebih panas lagi kondisi rakyat jelata ini, bahkan panas ini nyaris mencekik hidup mereka, megap-megap dan hampir kehilangan "jiwa", yakni panas karena harga-harga yang tiba-tiba saja meroket secara serentak.
Pertama, melambung tingginya harga minyak goreng. Dua kali lipat. Bahkan tidak ada sama sekali solusi sampai hari ini. Janji pemerintah untuk mensubsidi minyak curah pun belum terlaksana. Sama saja mahalnya dengan minyak kemasan. Ibu-ibu berontak. Tapi tak berdaya. hanya ngomel dan berteriak di media sosial dan menjadi sorak tanpa suara, karena merasa tidak ada yang memperjuangkannya. Pemerintah dimana?
Kemudian kenaikan minyak goreng ini merembet kemana saja. Bahkan termasuk ke harga busi sepeda motor. dari harga Rp 13 ribu tiba-tiba menjadi Rp 22 ribu. Padahal jika dikaji, apa hubungannya dengan kenaikan minyak goreng? Tetapi begitulah ekonomi bekerja. Saling sambung menyambung, menjadi satu, "memurukkan" rakyat hingga titik terendah kemampuannya.
Paling baru, daging hilang di pasaran dan pedagang daging memilih mogok berjualan. Mereka tidak sanggup menjual daging sampai harga Rp 200 ribu per kilogramnya. Lebih baik mogok dan kaum emak kembali kebingungan, sejenak merepet, lalu diam dan keadaan makin kacau. Pertanyaan yang timbul sama, pemerintah kemana saja? Apa hanya bisa berlindung dibalik keberadaan "mafia" yang katanya menyebabkanb minyak goreng harganya melangit? Atau daging "mafia" juga yang mengaturnya?
Bukankah dalam Pasal 33 UUD 1945 dikatakan; ayat (2) "Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara." Ayat (3) "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh "negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".
Tentu dalam hal ini negara atau pemerintah yang harus menguasainya, karena rakyat tidak mungkin bertindak untuk membela kepentingan dirinya. Kenapa tiba-tiba jadi mafia yang mengatur hajat hidup orang banyak tersebut dan pemerintah terlihat tergagap-gagap dan tidak bisa apa-apa.
Richard A. Musgrave mengatakan, salah satu fungsi dan tujuan kebijakan anggaran belanja pemerintah adalah sebagai Fungsi Stabilisasi (Stabilizaton Branch) yaitu fungsi menyangkut usaha untuk mempertahankan kestabilan dan kebijaksanaan- kebijaksanaan yang ada. Fungsi ini bertujuan untuk mempertahankan kestabilan perekonomian.
Jika dilihat kondisi saat ini, fungsi tersebut seolah tidak jalan. Pemerintah, dalam hal ini diwakilkan Kepala Negara dan para Menterinya, adalah orang yang paling berhak mengatur harga dan stabiltas ekonomi rakyat. Jika "mafia" mampu mengendalikan harga dan ekonmi tersebut, tentu patut dipertanyakan, sedang menuju hancurkah pemerintahan tersebut?
Berkaca pada sejarah, krisis ekonomi pada tahun 1998 menjadi hal yang memaksa Presiden Soeharto harus meletakan kekuasannya, meski telah berkuasa selama 32 tahun sejak 1965. Tidak ada yang membayangkan, pemerintahan Orde Baru yang begitu kuat bisa ambruk dalam sekejap.
Kejatuhan Soeharto dimulai sejak setahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia minus selama 6 bulan pada tahun 1997. Kemudian masih minus di sembilan bulan pertama tahun 1998 tersebut. Saat itu pemerintah meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF), tepatnyas pada bulan Oktober 1997. Tetapi ternyata bantuan lembaga keuangan global itu tak banyak membantu Indonesia. Situasi seperti lepas kendali di pertengahan tahun 1998.
Terpuruknya kepercayaan ke titik nol membuat rupiah yang ditutup pada level Rp 4.850/dollar AS pada tahun 1997, meluncur dengan cepat ke level sekitar Rp 17.000/dollar AS pada 22 Januari 1998. Salah satu faktor yang memperparah penyebab resesi ekonomi Indonesia adalah besarnya utang luar negeri Indonesia. Resesi ekonomi 1998 tersebut berlanjut menjadi krisis sosial kemudian ke krisis politik, yang membuka borok-borok kerapuhan fundamental ekonomi orde baru dan merambah semua sektor. Kondisi yang kemudian membuat mahasiswa bergerak, rakyat bergerak dan kekuatan Orde Baru tumbang dalam sekejap mata.
Tetapi terkadang kekuasaan tidak mau belajar pada sejarah, kekuasaan sibuk memperkuat diri untuk terus bertahan. Kekuasaan melupakan rakyat yang telah memilihnya, yang telah memberikan kepercayaan begitu besar, bahwa mereka akan sejahtera dan negara stabil. Dalam kondisi ini "Sengkuni" si tukang adu domba segera mengambil posisi.
Ekonomi yang parah makin diperparah oleh kondisi kepercayaan rakyat yang pelan tapi pasti luntur, karena "Sengkuni" si tukang adu domba sangat mahir memainkan perannya. Tujuannya, tentu kekuasaan atau juga kekayaan, harta benda. Sengkuni itu bisa berada di dua pihak, lawan atau juga kawan. Orang sering terkecoh olehnya.
Partai juga tidak peduli, karena sibuk membangun kekuatan untuk perebutan kekuasaan di tahun 2024. Kacaunya lagi, statemen-statemen tidak memihak rakyat setiap hari muncul, baik dalam bentuk berita atau dalam sosial media. Pernyataan yang menganggap rakyat seolah "bodoh".
Menteri Perdagangan (Mendag) misalnya, menyatakan: "langka dan tingginya harga minyak goreng selama beberapa bulan belakangan terjadi karena permainan mafia minyak goreng. Para mafia itumenyelundupkan minyak goreng yang mestinya menjadi konsumsi masyarakat ke industri-idustri. Seorang menteri bicara demikian, terasa bodoh dan membodohi rakyat.
Kemudian Mendag juga menyalahkan rakyat dengan mengatakan, adanya fenomena panic buying dari masyarakat menyebabkan mahal dang langkanya minyak goreng. Masyarakat berbondong-bondong membeli minyak goreng karena khawatir sulit membelinya di kemudian hari. Duh, sekelas menteri lho, bicara demikian.
Lalu pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati, saat jadi Keynote Speaker di acara 'Cegah Stunting untuk Generasi Emas Indonesia Bersama Megawati' yang mengaku sampai mengelus dada melihat ibu-ibu antre minyak goreng. "Saya sampai mikir jadi setiap hari ibu-ibu apakah hanya menggoreng sampai begitu rebutannya apa tidak ada cara untuk merebus lalu mengukus atau seperti rujak."
Sontak pernyataan ini menjadi bulan-bulanan di media sosial. Pernyataan yang seolah-olah tidak bersimpati kepada rakyat. Pernyataan Megawati menjadi penting dan segera saja dimasuki unsur politik, karena PDIP adalah partai yang mengusung Presiden Jokowi pada Pemilu 2019 lalu.
Diketerpurukan secara ekonomi, rakyat hanya butuh simpati, pernyataan yang sejuk dan tidak menyalahkan mereka, karena mereka, rakyat itu, memang tidak punya kuasa untuk mengatur negara. Bukan adu mulut, sok pintar dan mencari-cari kesalahan, karena itu hanya akan menyakiti dan melukai hati rakyat.
Untuk bisa makan tiap hari dan mencari biaya pendidikan anak-anak mereka, rakyat sudah susah. Sudah perih hatinya. Ditambah lagi sikap tidak bersimpati kepada mereka. Bukan perih lagi, tapi tercabik-cabik. Dalam kondisi ini tentu rakyat tentu gampang dimasuki "politikus" bermuka dua, seolah-olah berpihak padahal dia hanya mencari kesempatan. Mereka kemudian mencari cara untuk menghasut rakyat, agar bergerak.
Karena itu jangan tunggu rakyat bergerak untuk menyelesaikan semua persoalan ekonomi, karena jangan-jangan saat itu sudah terlambat dan kekuasaan runtuh oleh kekuatan rakyat. Berkacalah pada sejarah, lihatlah ke belakang. Tidak ada kekuasaaan abadi, kekuasaan yang terlalu hebat, jika rakyat sudah bergerak, jika rakyat sudah menyatukan tekad.***(28/3/2022).