JAKARTA - Direktorat Tindak Pidana Siber Mabes Polri tengah menggalakkan program literasi, demi meningkatkan pemahaman dan kedewasaan masyarakat, dalam memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
"Program-program literasi ini perlu untuk mencegah terjadinya tindak pidana siber," kata Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Mabes Polri Brigjen Slamet Uliandi, ketika menerima Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Teguh Santosa.
Menurut Dirtipidsiber Brigjen Slamet Uliandi, pihaknya membutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak agar program literasi yang mereka kembangkan itu dapat mengenai sasaran dan efektif.
Salah satu pihak yang dinilai perlu untuk dilibatkan adalah JMSI sebagai organisasi perusahaan media massa berbasis internet.
“Untuk hal-hal tersebut mungkin saya perlu diskusi. Narasi-narasi kita punya. Namun perlu adanya penambahan dari rekan-rekan (JMSI),” ujar mantan Kepala Biro Pembinaan dan Operasional Bareskrim Mabes Polri itu.
Brigjen Slamet mengajak JMSI ikut dalam menyusun rencana tindak lanjut (RTL) program literasi tersebut.
Jenderal bintang satu ini menjabarkan, saat ini tercatat sekitar 175 juta anggota masyarakat Indonesia yang terbilang aktif berselancar di dunia maya dengan menggunakan berbagai device.
Di saat bersamaan, sampai bulan Januari 2020 rata-rata waktu yang dihabiskan setiap orang di jaringan internet selama empat jam per hari. Ini meningkat dari tiga jam per hari pada tahun sebelumnya.
Bukan tidak mungkin, di era pandemi ini waktu yang digunakan pengguna internet untuk berselancar di dunia maya lebih lama lagi.
“Yang jadi problem, masih sangat banyak orang tidak perduli apakah informasi atau berita yang mereka terima adalah fake (bohong) atau tidak. Belum lagi, saat ini media mainstream cenderung terpancing menggunakan isu yang berkembang di media sosial. Makanya, saya perlu diskusi dengan JMSI bagimana kami seharusnya bertindak,” ujar Brigjen Slamet lagi.
Sementara Ketum JMSI Teguh Santosa mengatakan, masyarakat pers di tanah air sesungguhnya juga terganggu oleh fenomena media sosial.
Awalnya, media sosial dipandang sebagai sumber informasi alternatif yang penting bagi publik. Namun, dalam kenyataannya media sosial justru menjadi instrumen yang digunakan berbagai pihak untuk menyebarkan kabar bohong atau hoax dan ujaran kebencian.
“Kenyataan ini membuat banyak anggota masyarakat yang rasanya tidak dapat membedakan mana karya jurnalistik yang diproduksi oleh media siber dan karenanya tunduk pada kaidah-kaidah jurnalistik, serta mana produk media sosial yang sering kali merupakan pandangan personal,” sambungnya.
“Jejak-jejak kelam media sosial dapat dilihat dalam Pilkada 2017, Pilkada 2018, dan Pemilu 2019 yang lalu. Residunya masih ada,” kata mantan Anggota Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini lagi.
Namun demikian, literasi pada perusahaan media siber anggota JMSI harus terus dilakukan agar tidak terpeleset melakukan hal-hal yang seharusnya dihindarkan di dunia siber.
Teguh juga berharap MoU antara Mabes Polri dan Dewan Pers mengenai penanganan kasus pers dapat terus dijadikan rujukan oleh kedua lembaga.
Pada akhir pertemuan, kedua pihak sepakat untuk melanjutkan kerjasama literasi yang melibatkan Polda dan pengurus JMSI di daerah. Hal ini akan dibahas dalam kesempatan berikutnya.**/ril