Masa Pandemi, Anak-Anak Rentan Kejahatan Seksual di Internet Kamis, 30/07/2020 | 05:19
Andy Hardian, Program Manager ECPAT Indonesia
JAKARTA - Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2020 menyebutkan bahwa 79% orang tua mengizinkan anaknya memakai gawai dan 71,3% anak punya gawai sendiri.
Selain itu, Indonesia termasuk pemakai internet terbesar di dunia dan 80% diantara pemakai adalah anak-anak. Pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, internet pun telah dimanfaatkan untuk mengejar ketertinggalan di dunia pendidikan. Namun tentu saja, akan selalu ada sisi lain yang tidak selalu baik.
"Internet mengurangi tingkat komunikasi pada anak-anak dan rentan terjadi kekerasan seksual terhadap anak-anak," kata Andy Hardian, Program Manager ECPAT Indonesia, Rabu (29/7/2020).
Hal itu diungkapkan Andy saat menjadi pembicara dalam Webinar yang dilaksanakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dengan tema “Melindungi Anak dari Dampak Negatif Gadget di Masa Pandemi”.
"Artinya, resiko terhadap anak lebih tinggi. Selain kekerasan seksual anak juga rentan mengalami bullying dan pornografi," kata Andy.
Oleh sebab itu, kata Andy, anak harus didampingi dan ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan orang tua, sehingga anak akhirnya bisa bermain gawai dengan aman dan nyaman.
"Tahapan Ini penting untuk membuat kepercayaan diri anak tumbuh sehingga tidak gampang terjerat kejahatan online saat mereka bersilancar di dunia maya sendirian," tuturnya.
Menurut Andi, orang tua juga harus menyadari bahwa pornografi anak di dunia online adalah salah satu bentuk kejahatan. Jika menemukan harus segera melaporkan link yang memuat pornografi anak tersebut.
Andi menerangkan, biasanya pelaku kejahatan seksual terhadap anak sengaja berinteraksi di internet, karena mudahnya anak-anak untuk dipancing oleh rasa ingin tahu yang besar dan juga keinginan anak untuk berinteraksi dengan banyak orang di internet. Pelaku akan membangun sedemikian rupa kepercayaan anak terhadap mereka, sampai akhirnya mau melakukan hal-hal yang bersifat pornografi.
"Misalnya mengirimkan foto atau video diri yang bersifat amat pribadi dan nanti justru digunakan pelaku kejahatan untuk mengancam si anak," kata Andy.
Untuk mencegah hal ini, Andy mengingatkan para orang tua agar lebih peka dan harus membuat anak memahami bahwa dia sedang digiring ke arah kejahatan seksual online dengan mendampingi anak secara benar.
Lebih lanjut Andy mengatakan, sudah ada aplikasi-aplikasi di internet yang lebih aman dan terpercaya untuk digunakan oleh anak-anak.
"Ada google interland yang bagus untuk anak usia TK dan awal SD. Ada pula messenger kids. Sebaiknya anak di bawah usia 16 tahun jangan dulu pakai WA. Jadi selain orang tua, pihak sekolah juga harus memikirkan hal ini," kata Andy.
Sementara itu Putu Elvina dari KPAI menyatakan, masih banyak orang tua yang belum disiplin terhadap anaknya dengan membiarkan anak berjam-jam di depan gawai. Akibatnya anak kehilangan analisa.
"Analisis anak tak tajam karena mereka cenderung copy paste. Kritis anak-anak juga kurang," kata Elvina.
Menurut Elvina, perlu literasi digital untuk orang tua. Selain itu juga butuh proteksi seperti Undang-Undang.
"Jangan kita bebas lalukan aktifitas di online tapi banyak orang yang terganggu. Perlu aturan bagaiman anak bergawai dengan baik," kata Elvina.**