Pagi Ini Rupiah Menguat 104 Poin Menjadi Rp Rp16.409 per Dolar AS Senin, 04/08/2025 | 10:32
Rupiah
Berkabarnews.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan Senin (4/8/2025) pagi di Jakarta menguat sebesar 104 poin atau 0,63 persen menjadi Rp16.409 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.513 per dolar AS. Lukman Leong, analis mata uang Doo Financial Futures memperkirakan nilai tukar rupiah menguat seiring melemahnya data pekerjaan Nonfarm Payrolls (NFP) Amerika Serikat (AS).
"Dolar AS melemah cukup tajam setelah data pekerjaan AS NFP yang sangat lemah memicu peningkatan pada prospek pemangkasan suku bunga oleh The Fed (Federal Reserve)," katanya, Senin.
Mengutip Anadolu, NFP AS tercatat mencapai 73 ribu lapangan kerja pada bulan Juli 2025, jauh di bawah ekspektasi pasar yang sebesar 106 ribu. Adapun penambahan lapangan kerja untuk bulan Juni direvisi turun sebesar 133 ribu dari 147 ribu.
Untuk tingkat pengangguran, naik tipis menjadi 4,2 persen pada bulan Juli dari 4,1 persen pada Juni, sesuai perkiraan. Jumlah pengangguran sedikit berubah di angka 7,2 juta pada bulan Juli, sementara tingkat partisipasi angkatan kerja berada di angka 62,2 persen.
Sementara itu, seperti dilansir Antara, rasio lapangan kerja terhadap populasi stabil di angka 59,6 persen pada bulan Juli, dan jumlah orang yang bukan angkatan kerja tetapi saat ini menginginkan pekerjaan sedikit berubah yaitu 6,2 juta.
Terkait rata-rata pendapatan per jam untuk semua karyawan non-pertanian, naik 0,3 persen menjadi 36,44 per dolar AS pada bulan Juli dibandingkan dengan Juni, sementara secara tahunan naik 3,9 persen.
Menurut Lukman, data NFP AS yang melemahkan kurs dolar AS mendorong harapan pemangkasan suku bunga Fed sebanyak dua kali pada tahun ini sebesar 100 persen dengan total 50 basis points (bps). Ekspektasi tiga kali pemangkasan suku bunga dengan total 75 bps juga meningkat dari 46,4 persen menjadi 48,1 persen.
Potensi pemotongan tersebut diperkirakan terjadi pada September, Oktober, dan Desember. "Pelemahan besar pada data tenaga kerja ini besar kemungkinan karena kekhawatiran investor akan tarif Trump yang akan berdampak sangat negatif pada perekonomian AS," ungkap Lukman.**/ant