Prof. Dr. Haris Gunawan, M.Sc, akademisi lingkungan dari Universitas Riau .
BNEWS — Kawasan pesisir Provinsi Riau tengah menghadapi krisis ekologis yang kian mengkhawatirkan. Dengan garis pantai lebih dari 2.000 kilometer, wilayah ini kini terancam abrasi, penurunan permukaan tanah, serta kerusakan hutan mangrove dan lahan gambut yang meluas.
Hal itu terungkap dalam sesi diskusi yang digelar Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Lancang Kuning di Pekanbaru, Rabu (31/7/2025). Hadir sebagai pembicara adalah Prof. Dr. Haris Gunawan, M.Sc, akademisi lingkungan dari Universitas Riau sekaligus anggota International Tropical Peatlands Center serta Drs. Amru Mahalli, MM, Advisor CSR & Communication EMP.
Data terbaru menunjukkan sekitar 482 kilometer kawasan pesisir Riau telah terdampak abrasi. Penurunan permukaan tanah (subsiden) akibat pengeringan gambut mencapai 3–5 sentimeter per tahun, atau lebih dari 30 sentimeter dalam sepuluh tahun.
Dari sekitar 4,9 juta hektare lahan gambut di Riau, sebanyak 3 juta hektare rusak, sementara dari 2,4 juta hektare gambut lindung, hanya sekitar 0,45 persen yang masih dalam kondisi baik. Di sisi lain, hutan mangrove seluas sekitar 155.540 hektare juga mengalami degradasi dengan tingkat kerusakan sedang hingga berat mencapai 98 persen.
“Lanskap pesisir Riau menyimpan kekayaan luar biasa. Tapi tanpa intervensi cepat dan sistematis, kita bisa kehilangan bukan hanya ekosistemnya, tapi juga warisan peradaban,” kata Prof. Dr. Haris Gunawan, M.Sc.
Ia menjelaskan bahwa pendekatan pemulihan yang dilakukan saat ini tidak hanya berhenti pada upaya rehabilitasi fisik seperti penanaman mangrove, tetapi menyasar pemulihan kontinum lanskap, suatu kesatuan ekologis dari hulu ke hilir yang meliputi rawa, gambut tropis, hutan mangrove, hingga ekosistem laut. Lanskap ini juga mencakup wilayah darat yang telah banyak terdampak oleh industri sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
“Kalau satu bagian rusak, seluruh sistem akan runtuh. Ini bukan hanya soal mangrove atau gambut, tapi tentang keberlanjutan satu lanskap utuh,” ujarnya.
Kondisi kerusakan yang terus berlangsung juga disoroti oleh Drs. Amru Mahalli, MM, Advisor CSR & Communication EMP. Ia menilai konversi hutan mangrove menjadi tambak dan kawasan industri terus meningkat, diiringi pencemaran laut, sedimentasi, serta lemahnya kontrol terhadap tata ruang di wilayah pesisir.
“Pesisir kita kehilangan fungsi ekologisnya sebagai benteng alami. Jika ini dibiarkan, maka banjir rob, intrusi air laut, hingga gagal panen menjadi ancaman nyata,” kata Amru.
Amru juga menyoroti ancaman dari lahan gambut yang terus mengering akibat pembukaan lahan. Berdasarkan studi Deltares (Hooijer, 2009), penurunan permukaan tanah bisa mencapai 3–5 cm per tahun. Dalam satu dekade, hal ini berpotensi menyebabkan banjir besar di wilayah pesisir seperti Pulau Padang dan Pulau Rupat yang tanahnya makin turun setiap tahun.
Sebagai langkah strategis, sejumlah inisiatif mulai dijalankan secara kolaboratif. Rehabilitasi mangrove secara masif telah dilakukan di titik-titik kritis seperti Kabupaten Bengkalis dan Kepulauan Meranti. Di sisi lain, program perhutanan sosial juga mulai dikembangkan untuk melibatkan langsung masyarakat pesisir dalam perlindungan kawasan.
“SK perhutanan sosial telah diterbitkan bagi beberapa kelompok masyarakat adat. Ini penting untuk menciptakan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama,” tambah Amru.
Sementara itu, Prof. Haris turut mempromosikan inisiatif Living Peat Laboratory yang dikembangkan di Lanskap Rumah Runding sebagai pusat studi restorasi gambut sekaligus destinasi wisata edukatif. Di sana, pemulihan hidrologis gambut dilakukan sembari mengembangkan ekonomi lokal berbasis produk ramah lingkungan.
Gerakan restorasi ini juga membuka peluang ekonomi baru. Hingga pertengahan 2023, terdapat lima unit usaha PBPH-RE (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Restorasi Ekosistem) di Riau yang mengembangkan bisnis karbon, ekowisata, dan hasil hutan bukan kayu. Produk-produk seperti sirup, sabun, dan eco-print berbahan dasar mangrove kini mulai menjadi alternatif sumber penghasilan. Salah satu contohnya adalah ekowisata mangrove di Bengkalis yang sukses menarik wisatawan sambil meningkatkan kesadaran lingkungan.
Lebih jauh, restorasi lanskap juga menyentuh aspek budaya dan ketahanan pangan. Prof. Haris menyoroti pentingnya revitalisasi tanaman sagu sebagai pangan lokal khas pesisir yang memiliki nilai sejarah dan ekonomi.
“Sagu bukan sekadar makanan, tapi simbol ketahanan dan sejarah Melayu sejak abad ke-7. Ini perlu kita hidupkan kembali,” katanya.
Menurutnya, Kabupaten Meranti, Siak, dan Indragiri Hilir memiliki potensi besar sebagai pusat kebangkitan sagu nasional, asalkan didukung oleh kebijakan dan alokasi anggaran dari pemerintah daerah.
Untuk memperkuat langkah restorasi, para akademisi dan praktisi juga mengusulkan pembangunan sistem pemantauan subsiden secara permanen di lokasi-lokasi kunci. Data real-time dari sistem ini dinilai sangat penting untuk merespons cepat perubahan permukaan tanah dan mengantisipasi potensi banjir rob.
“Koordinasi antarlembaga, pembiayaan jangka panjang, dan penegakan hukum adalah kunci keberhasilan,” kata Amru.
Meski tantangan masih besar, kolaborasi multipihak diyakini mampu memulihkan bentang alam pesisir Riau. Lebih dari sekadar menyelamatkan ekosistem, upaya ini juga menjadi bagian penting dari membangun ketahanan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir.
“Restorasi ini bukan proyek jangka pendek. Ini perjuangan kolektif menyelamatkan masa depan,” tegas Prof. Haris di akhir diskusi.