Vaksinasi HPV untuk Masa Depan Perempuan Pekanbaru Bebas Kanker Serviks Sabtu, 19/07/2025 | 15:40
Plt Kadiskes Pekanbaru, dr. Fira Septiyanti, sebut sudah gencar lakukan pemberian imunisasi dasar lengkap termasuk vaksinasi HPV ke sekolah-sekolah di Kota Pekanbaru (Foto:Rinai/BNEWS)
BNEWS — Rosa Fitria, 29 tahun, mengingat masa beberapa tahun lalu ketika ia pindah ke Kota Pekanbaru dari Kota Duri. Saat itu ia sering merasa lelah meski tak melakukan apa-apa dan nyeri yang makin menggigit di bagian perut.
Rosa tak terlalu memikirkan rasa sakit itu. Berhubung ia baru saja menikah dan menyesuaikan diri dengan kehidupan baru, ia menganggap wajar apa yang dialami.
“Saya pikir, mungkin hanya efek baru pindah,” ujar Rosa.
Ia mulai merasa khawatir saat keputihan, yang juga ia anggap wajar, mulai berbau tak sedap dan mengganggu. Ketika gejala-gejala itu tak kunjung hilang, Rosa akhirnya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.
Dari hasil tes lanjutan, Rosa divonis menderita kanker serviks stadium awal. Meski dokter meyakinkan bahwa kankernya masih sangat mungkin disembuhkan, Rosa merasa seperti divonis hukuman mati.
Bagi Rosa, hal itu menjadi titik balik. Ia mulai membaca dan mencari informasi lebih dalam tentang kanker serviks di berbagai kanal media sosial, pemberitaan dan sumber lainnya. Dari sanalah ia tahu bahwa penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan vaksinasi HPV.
“Ada rasa menyesal dan menyalahkan diri sendiri. Kalau dulu tahu soal vaksin HPV, mungkin ceritanya beda. Tapi saya buang jauh-jauh pikiran itu, suami juga support dan keras biar saya sembuh,” ujarnya.
Pasca divonis, Rosa mulai berubah dan bertekad menjalani gaya hidup sehat dengan rutin berolahraga, menghindari makanan cepat saji dan memperbanyak asupan makanan yang lebih bergizi, tentu dibarengi dengan obat-obatan dan pemeriksaan rutin ke dokter. Hasrat untuk sembuh dan memiliki anak turut menjadi pemantik semangatnya.
“Saya juga jadi cerewet ke teman-teman yang perempuan, jangan cuek banget sama badan. Bukannya mendoakan yang jelek, amit-amit kalau kena kanker. Tapi ini bisa dicegah dengan vaksin,” katanya.
Jika Rosa baru menyadari pentingnya vaksinasi setelah divonis kanker, lain halnya dengan Silvia, 27 tahun, seorang social media specialist di Pekanbaru. Kekhawatiran pribadi mendorong ia melakukan skrining secara sukarela dan menerima suntikan dosis pertama vaksin HPV.
“Saya sendiri tahu karena waktu itu saya dapat client klinik kesehatan, lalu kerja sama yang terus berlanjut membuat saya makin sering mendengar istilah-istilah kesehatan, termasuk soal kanker serviks, Pap Smear, dan ternyata ada vaksinnya,” kata Silvia.
Menurutnya, keputusan untuk vaksin bukan hanya bentuk perlindungan diri, tetapi juga bentuk kepedulian pada masa depan.
“Saya enggak mau nunggu sakit dulu baru bertindak. Kalau dipikir-pikir, pasti jauh lebih mahal berobat daripada suntik vaksin,” tuturnya.
Prinsip mencegah daripada mengobati itu pula yang kini menancap di benak Husnul Mafar, 32 tahun, seorang ayah yang kini tengah mempertimbangkan untuk memberikan vaksin HPV kepada anak perempuannya yang duduk di kelas 2 SD.
Perjalanan Husnul menuju keputusan ini diakuinya tak mudah. Ia termasuk orang yang ragu dengan vaksin, terutama dari segi keamanan dan kehalalannya. Bahkan sewaktu pandemi Covid-19, Husnul sempat menolak disuntik.
"Selain karena ragu sama manfaat vaksinnya, saya juga merasa sehat-sehat saja," ungkapnya.
Namun sejak menikah dan menjadi ayah dari seorang anak perempuan, pandangannya berubah. Ia mulai aktif mendampingi istri ke posyandu untuk mendapat imunisasi bagi anak mereka. Dari sanalah informasi soal pentingnya imunisasi dan vaksin HPV perlahan masuk ke kesadarannya.
“Saya mulai mikir, kalau nanti anak saya yang sakit bagaimana? Nggak tega saya,” ujar Husnul. Hingga saat ini, ia mengaku masih terus mencari informasi, tapi kini lebih terbuka dan percaya pentingnya pencegahan lewat imunisasi.
Kanker serviks sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh dr. Sari, SpOG, spesialis obstetri dan ginekologi yang membuka klinik pribadi di Pekanbaru, hampir selalu disebabkan oleh infeksi Human Papillomavirus (HPV). Ia menyebut kanker ini sebagai “silent killer” karena pada tahap awal sering kali tidak menimbulkan gejala.
“Yang membuatnya berbahaya, pada tahap awal sering kali tidak ada gejala. Banyak pasien baru menyadari saat kanker sudah stadium lanjut,” kata dr. Sari yang juga merupakan Ketua I TP PKK Kota Pekanbaru, istri Wakil Walikota Markarius Anwar.
Menurutnya, gejala yang perlu diwaspadai antara lain perdarahan tidak normal seperti flek di luar masa haid atau setelah berhubungan seksual, keputihan berbau tak sedap, nyeri panggul, hingga penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas hingga kelelahan kronis. Ia menekankan pentingnya deteksi dini melalui skrining seperti Pap Smear dan Tes HPV.
“Jika ada kelainan, bisa langsung ditindaklanjuti,” jelasnya.
Sari menegaskan bahwa kanker serviks termasuk jenis kanker yang bisa dicegah. Ia mengimbau masyarakat untuk memanfaatkan program vaksin HPV gratis bagi anak perempuan usia 9-14 tahun di seluruh Puskesmas yang ada di Kota Pekanbaru.
“Kuncinya dua, vaksinasi HPV dan deteksi dini lewat skrining. Vaksin HPV idealnya diberikan saat remaja usia 9-14 tahun, tapi perempuan dewasa juga masih bisa mendapatkan manfaatnya, walau tentu lebih dini divaksin akan lebih besar manfaatnya," paparnya.
Pemerintah berupaya mencegah kanker serviks lewat vaksinasi HPV dengan menjadikannya program prioritas. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru, dr. Fira Septiyanti mengatakan, sejak tahun 2023, vaksinasi HPV masuk dalam program imunisasi nasional gratis bagi anak perempuan kelas 5 dan 6 sekolah dasar atau usia 9-14 tahun. Program ini dijalankan oleh Kementerian Kesehatan RI sebagai bagian dari penguatan imunisasi dasar lengkap untuk menurunkan angka kematian akibat kanker serviks.
Vaksin HPV diberikan dalam dua dosis, dengan rentang enam bulan, dan sudah terdistribusi ke hampir seluruh puskesmas di Indonesia. Sesuai rekomendasi WHO dalam strategi global eliminasi kanker serviks, cakupan imunisasi HPV ditargetkan mencapai minimal 90 persen pada kelompok sasaran di tahun-tahun mendatang.
Di Kota Pekanbaru, implementasi program ini masih menghadapi tantangan. Fira menyebut capaian vaksinasi HPV di daerahnya masih berada di angka 3.476 anak atau sekitar 29,3 persen dari target.
“Kami sudah mulai menggencarkan sosialisasi dan kerja sama lintas sektor. Kami juga menggandeng Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama untuk menjadwalkan pemberian vaksin HPV di sekolah-sekolah negeri, swasta, dan madrasah,” ujarnya.
Program vaksinasi sekolah itu dilakukan setiap Agustus dalam momen Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Namun untuk memperluas jangkauan, vaksinasi mandiri diupayakan gencar dilakukan di puskesmas dan posyandu.
Fira memastikan stok vaksin gratis mencukupi, bahkan tersedia di fasilitas kesehatan tingkat pertama dan rumah sakit daerah. Tantangan justru datang dari aspek sosialisasi dan kepercayaan masyarakat itu sendiri.
“Selama ini yang sering terjadi justru penolakan dari orang tua. Ada yang takut anaknya demam setelah divaksin, ada juga yang ragu soal halal-haram vaksin,” katanya.
Ia menjelaskan, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) seperti demam adalah hal wajar dan bersifat sementara.
“Kami terus edukasi bahwa vaksin ini aman dan bisa mencegah penyakit yang lebih serius di masa depan. Kami imbau juga agar masyarakat jangan terpengaruh berita-berita hoaks yang beredar soal kanker ataupun soal imunisasi dasar lengkap,” imbaunya.
Menurut data Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru di sepanjang tahun 2024 kanker serviks dan kanker payudara masih menjadi beban terbesar layanan onkologi. Tercatat jumlah kunjungan pasien kanker yang cukup signifikan, baik pada layanan rawat jalan maupun rawat inap.
Pada layanan rawat jalan, diagnosis kanker payudara (malignant neoplasma breast) mendominasi dengan total 12.435 kunjungan, terdiri dari 229 pasien baru dan 12.206 pasien lama.
Sedangkan untuk kasus kanker leher rahim (malignant neoplasma cervix uteri) terdapat 1.221 pasien perempuan yang dirawat inap, dengan angka kematian mencapai 40 kasus. Data ini menunjukkan bahwa kanker payudara dan kanker serviks masih menjadi dua jenis kanker dengan beban tertinggi di rumah sakit rujukan utama Provinsi Riau tersebut.
Fira menambahkan, angka ini menjadi alarm penting. Sebab kanker serviks bukan hanya penyakit medis, tapi juga soal keadilan akses terhadap informasi, skrining, dan imunisasi. Meskipun pemerintah telah berupaya dengan program imunisasi dan vaksinasi gratis, dr. Fira mengakui tak mudah menghilangkan kekhawatiran masyarakat terhadap risiko vaksinasi karena terpengaruh berita bohong.
Di tengah rendahnya capaian vaksinasi dan bayang-bayang hoaks yang terus bergulir di media sosial, kerja kolaboratif antara pemerintah, sekolah, tenaga kesehatan, hingga keluarga menjadi semakin penting.
“Sebab di balik angka-angka dan istilah medis, ada nyawa, ada masa depan, dan ada harapan yang bisa diselamatkan hanya jika kita memilih untuk bertindak sekarang,” tutupnya.**
Penulis: Rinai Bening Kasih Editor: Luzi Diamanda
Liputan ini didukung oleh fellowship Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerjasama dengan Global Health Strategis (GHS).