Dika Menari di Atas Jalur di Kuansing, Kini Mendunia Usai Viral Aura Farming Minggu, 06/07/2025 | 17:51
Ryan Arkandika (tengah)
Berkabarnews.com, Kuansing - Pacu Jalur merupakan tradisi tua yang telah diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing) di Provinsi Riau. Tradisi ini mencerminkan semangat kolektif, kehormatan kampung, serta nilai spiritual dan sosial yang mengakardalam kehidupan masyarakat.
Pacu Jalur adalah lomba perahu panjang yang digelar tiap tahun di Sungai Kuantan, kabupaten Kuantan Singingi. Tak sekadar olahraga tradisional, acara ini juga menjadi panggung budaya dan simbol solidaritas antar-kampung. Sejak 2014, Pacu Jalur ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia oleh Kemendikbudristek.
Kini pacu jalur mendunia berkat tarian Pacu Jalur yang dibawakan bocah di atas jalur (perahu) ditiru oleh banyak orang, tak hanya di Indonesia tetapi di belahan dunia. Salah satu bocah itu adalah Ryan Arkandika atau disapa Dika, yang berkat dirinya tarian pacu jalur mendunia.
Bocah ini baru dua tahun menjadi penari jalur. Saat ini Dika duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar (SD) dan Dika bercita-cita jadi tentara. Aksi Dika menari di atas Jalur kini menjadi viral dan mendunia. Bahkan, pesepakbola PSG mengikuti tarian Dika tersebut, berkat aura farming.
Aura farming, kalau diartikan adalah 'bertani aura'. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) aura adalah energi yang memancar dari orang, benda, dan sebagainya. Bertani adalah bercocok tanam, mengusahakan tanah dengan tanam-menanam, melibatkan aksi tabur-tuai.
Festival Pacu Jalur di Kuantan Singingi (Kuansing), Riau ini viral karena 'aura farming' bocah penari jalur tersebut. Mereka menari-nari dengan stabil di atas jalur (perahu) yang sedang berjalan kencang dan didayung oleh pemacu. Festival Pacu Jalur ini digelar setiap tahun. Untuk tahun ini puncaknya akan digelar pada Agustus 2025 di Sungai Kuantan.
Sejarah pacu jalur
Mengutip dari Digital Kuansing, Pacu Jalur diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17. Awalnya jalur digunakan sebagai alat angkut hasil bumi di sepanjang Sungai Kuantan. Lama kelamaan, aktivitas ini berkembang menjadi ajang perlombaan antar-kampung saat perayaan adat dan hari besar keagamaan.
Pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur dijadikan agenda resmi untuk merayakan ulang tahun Ratu Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, waktu penyelenggaraannya disesuaikan dan digelar setiap bulan Agustus untuk memperingati HUT RI. Lokasi utamanya kini berada di Tepian Narosa, Teluk Kuantan.
Dalam dokumen Pacu Jalur dan Upacara Perlengkapannya yang dilansir Repositori Kemendikbud, tradisi ini disebut lahir dari kebutuhan masyarakat terhadap transportasi sungai, lalu berkembang menjadi sarana adu kekuatan, sportivitas, dan kebanggaan kolektif antar-kampung.
Pacu Jalur tidak hanya soal kecepatan mendayung. Dalam setiap aspeknya terkandung nilai adat, spiritual, dan filosofi Melayu. Pembuatan perahu jalur diawali dengan pemilihan kayu besar di hutan, lalu ditebang melalui ritual adat oleh tokoh kampung, sebagaimana dijelaskan dalam Repositori Kemendikbud.
Sebelum lomba, masyarakat menggelar prosesi buka jalur, sebuah upacara pembersihan spiritual dan doa keselamatan. Tokoh adat atau dukun kampung akan memimpin ritual ini agar jalur terbebas dari gangguan dan membawa keberuntungan bagi awaknya.
Struktur awak jalur terdiri dari komando jalur, juru mudi, tukang gelek (penabuh irama), hingga penari jalur yang biasanya anak-anak. Menurut Kemenparekraf, keberadaan penari ini dipercaya membawa semangat, harmoni, dan kekuatan spiritual bagi seluruh tim.
Panjang perahu jalur bisa mencapai 40 meter dan diisi hingga 60 awak. Jalur dihias dengan ornamen warna-warni seperti kepala naga, payung kuning, dan umbul-umbul yang mencerminkan identitas serta kekuatan kampung.**/xie